BLOG PINDAH KE

Minggu, 07 Februari 2010

St. Dominikus Savio

"Saya Ingin Menjadi Kudus, Romo"
 
St. Dominikus Savio adalah santo pelindung remaja, khususnya remaja putra. Ia juga diangkat menjadi pelindung paduan suara remaja putra, pelindung remaja yang diperlakukan tidak adil serta pelindung bagi mereka yang tak bersalah tetapi dikenai tuduhan palsu. Jadi, jika kalian punya masalah dengan teman-teman sebayamu, atau gurumu, atau orangtuamu, atau masalah remaja lainnya, janganlah ragu-ragu untuk memohon bantuan doa darinya.  
 
MASA KECIL
Dominikus Savio (Dominic artinya milik Tuhan) dilahirkan pada tanggal 2 April 1842 di Riva, Chieri, Italia. Ia adalah seorang dari kesepuluh putra-putri pasangan Carlo dan Birgitta Savio. Ayahnya seorang pandai besi sementara ibunya seorang penjahit.

Sejak masa kecilnya, Dominikus amat mengasihi Tuhan. Suatu hari, saat usianya baru empat tahun, Dominikus menghilang. Ibunya, yang dengan cemas mencarinya, akhirnya mendapatkan puteranya itu di sudut ruangan dengan tangannya terkatup dan kepalanya tertunduk. Ia khusuk berdoa! Pada usia lima tahun, setelah memohon dengan sangat, Dominikus diijinkan untuk menjadi Putera Altar dan ketika usianya tujuh tahun, ia diperkenankan untuk menerima Komuni Kudus-nya yang Pertama.

Karena keluarganya miskin, Dominikus harus berjalan pulang balik sejauh 6 mil (± 9.6 km) setiap hari agar dapat bersekolah di kota terdekat. Suatu hari ketika gurunya sedang tidak berada di kelas, dua orang anak lelaki membawa masuk banyak sekali salju dan sampah serta menyumpalkannya ke dalam satu-satunya tungku pemanas ruangan. Ketika Pak Guru kembali, ia menjadi sangat marah. Kedua anak tersebut ketakutan, mereka mengatakan bahwa Dominikus-lah yang telah melakukannya. Pak Guru memaki-maki Dominikus dengan kata-kata yang keras dan tajam. Ia juga menambahkan jika saja ini bukan perbuatannya yang pertama, tentulah Dominikus telah diusirnya. Dominikus tidak mengatakan sepatah kata pun untuk membela diri. Ia berdiri di depan kelas dengan kepala tertunduk. Keesokan harinya, tahulah Pak Guru apa yang sebenarnya telah terjadi. Segera ia menemui Dominikus dan bertanya mengapa ia tidak membela diri. Dominikus mengatakan bahwa ia khawatir Pak Guru akan mengeluarkan kedua anak nakal tersebut, padahal ia ingin sekali mereka diberi kesempatan. “Lagipula,” katanya, “saya ingat bahwa Yesus juga dituduh secara tidak adil dan Ia diam saja.”
 
ORATORIO ST. YOHANES BOSCO
Ketika St. Yohanes Bosco (biasa dipanggil Don Bosco) mencari tunas-tunas muda untuk dididik sebagai imam dalam Serikat Salesian, imam paroki di mana Dominikus tinggal menawarkan Dominikus kepadanya. Don Bosco mengujinya terlebih dahulu dan setelah pertanyaan-pertanyaannya selesai, Dominikus balik bertanya,

“Bagaimana pendapat Romo tentang saya?”

“Menurut saya, engkau adalah bahan yang bagus,” jawab Don Bosco dengan senyum lebar.

“Baiklah, Romo adalah seorang tukang jahit yang hebat, jika bahannya memang bagus, ambillah saya dan jadikan saya jubah yang indah bagi Tuhan!”

Demikianlah, bulan Oktober 1854, pada usia dua belas tahun, Dominikus diterima sebagai murid di Oratorio St. Fransiskus dari Sales di Turin.

Di Oratorio, Dominikus dikenal oleh teman-teman serta para gurunya sebagai seorang anak yang periang, ramah, serta teliti. Walaupun masih anak-anak, ia dikaruniai Tuhan karunia-karunia rohani yang jauh melebihi usianya: mengenali mereka yang membutuhkan pertolongan, mengenali kebutuhan rohani orang-orang di sekitarnya, serta dikarunia kemampuan untuk bernubuat. Dominikus memperoleh kasih sayang serta hormat dari teman-temannya dan juga dari para imam.

Dominikus tidak suka memaksakan kehendaknya serta tidak suka menonjolkan pendapat pribadinya, tetapi ia tidak akan takut untuk menentang segala yang salah dan selalu dapat memberikan alasan mengapa suatu tindakan dianggapnya salah.  

Suatu ketika, Dominikus secara tidak sengaja mendengarkan rencana dua orang temannya yang hendak berkelahi dengan saling melempar batu. Dominikus berusaha sebaik-baiknya berbicara dengan mereka untuk membatalkan pertarungan yang berbahaya itu. Namun demikian, tampaknya tidak ada lagi yang dapat membujuk kedua anak itu untuk mengurungkan niat mereka. Bisa saja Dominikus melaporkan mereka kepada guru mereka, tetapi ia pikir hal itu hanya akan menunda perkelahian tanpa menyelesaikan masalah. Dominikus berhasil membujuk kedua temannya itu untuk menerima satu syarat rahasia darinya, yang akan dikatakan Dominikus sesaat sebelum perkelahian dimulai. Maka, pergilah Dominikus dengan kedua temannya itu. Ia membantu mereka mengumpulkan batu-batu guna persiapan perkelahian. Ketika semuanya sudah siap, Dominikus mengacungkan sebuah salib kepada mereka seraya berkata,

“Kalian berdua, sebelum kalian berkelahi, pandanglah salib ini dan katakanlah, `Yesus Kristus tidak berdosa dan Ia wafat dengan memaafkan pembunuh-pembunuh-Nya. Saya seorang berdosa, dan saya hendak menyakiti Yesus dengan tidak memaafkan musuh-musuh saya.' Setelah berkata demikian, terlebih dahulu lemparkanlah batu pertama kalian kepadaku. Itulah persyaratanku.”  

 “Tetapi Dominik, kamu tidak pernah menyakiti aku atau pun bersalah kepadaku. Kamu adalah temanku,” protes mereka.

“Kamu tidak akan menyakiti aku, yang hanya seorang manusia yang lemah. Tetapi kamu, dengan tindakan-tindakanmu itu, akan menyakiti Yesus Kristus yang adalah Tuhan?”

Kedua temannya itu menundukkan kepala mereka karena malu dan menjatuhkan batu-batu mereka. Mereka saling memaafkan dan berjanji untuk menerima Sakramen Tobat.

 INGIN MENJADI KUDUS
Dominikus Savio bertekad untuk menjadi seorang kudus. Ia pergi ke kapel untuk berdoa. Ia menolak untuk bermain dengan teman-temannya, mukanya pun diubah menjadi muram dan serius. Dua hari lamanya Dominikus bersikap demikian. Hingga, Don Bosco memanggilnya dan bertanya apakah ia sedang sakit.

“Tidak,” kata Dominikus, “sungguh saya dalam keadaan sehat dan bahagia.”

“Jika demikian, mengapa kamu tidak mau bermain seperti biasanya? Mengapa mukamu demikian muram?”

“Saya ingin menjadi kudus, Romo.”

Don Bosco memuji ketetapan hatinya tetapi menasehati Dominikus untuk senantiasa gembira dan tidak merasa khawatir; melayani Tuhan adalah jalan menuju kebahagiaan sejati.

Nasehat Don Bosco membuahkan hasil. Dominikus menjadi teladan sukacita bagi teman-temannya. Suatu hari, saat ia menyambut seorang anak baru di Oratorio, ia menjelaskan programnya.

“Di sini kita mencapai kekudusan dengan hidup penuh sukacita. Kita menghindarkan diri dari dosa -yaitu pencuri besar yang merampok rahmat Tuhan bagi kita serta merampas kedamaian hati; kita tidak melalaikan tugas, serta mencari Tuhan dengan segenap hati. Mulailah dari sekarang dan jadikan kata-kata ini moto hidupmu: Servite Domino in laetitia: Layanilah Tuhan dengan sukacita yang kudus.”
 
CINTA AKAN SAKRAMEN-SAKRAMEN GEREJA
Pengalaman membuktikan bahwa sumber pertolongan rohani terbesar diperoleh dari Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi. Anak-anak yang menerima kedua sakramen ini secara teratur bertumbuh mencapai kedewasaan rohani. Dengan demikian hidup mereka menjadi teladan hidup Kristiani.

Sebelum bersekolah di Oratorio, Dominikus biasa menerima Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi seminggu sekali. Sejak di Oratorio, ia melakukannya lebih sering. Suatu hari Dominikus mendengarkan khotbah Don Bosco:

“Anak-anak, jika kalian ingin menjaga diri agar senantiasa berada di jalan menuju Surga, saya nasehatkan kalian agar sesering mungkin menerima Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi. Pilihlah seorang Bapa Pengakuan kepada siapa kamu dapat mengungkapkan dirimu secara bebas dan, jika bukan karena hal mendesak, janganlah berganti-ganti Bapa Pengakuan.”

Dominikus memilih seorang Bapa Pengakuan baginya. Pada awalnya ia mengakukan dosanya dua minggu sekali, kemudian seminggu sekali. Selesai menerima Sakramen Tobat, Dominikus diperbolehkan menerima Sakramen Ekaristi. Bapa Pengakuannya yang melihat perkembangan rohani Dominikus yang demikian pesat, menyediakan waktu untuk berbicara dengannya tiga kali seminggu. Di akhir tahun, ia mengijinkan Dominikus untuk menerima Komuni setiap hari! Dominikus amat senang, katanya:

“Jika saya merasa sedih dan khawatir, saya akan pergi kepada Bapa Pengakuan saya. Dialah yang akan menunjukkan Kehendak Tuhan bagi saya; karena Yesus Kristus sendiri telah menyatakan bahwa Bapa Pengakuan berbicara dengan Suara Allah. Juga, ketika saya menginginkan sesuatu yang amat penting, saya pergi menerima Komuni Kudus. Saya menerima Tubuh yang sama dengan yang ditawarkan Tuhan bagi kita di Salib, bersama dengan Darah-Nya yang Mulia, Jiwa-Nya dan Ke-Allahan-Nya. Apakah lagi yang masih saya inginkan untuk melengkapi kebahagiaan saya, selain dari saat saya kelak berhadapan muka dengan muka dengan-Nya, yang sekarang ini saya lihat di altar hanya dengan mata iman?”

Sebelum Komuni Pertamanya, Dominikus membuat empat janji yang ditulisnya dalam sebuah buku kecil. Janji-janjinya itu seringkali dibacanya kembali. Tulisnya:
~Saya akan menerima Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi sesering mungkin.
~Saya akan berusaha memberikan hari Minggu serta hari-hari libur sepenuhnya untuk Tuhan.
~Sahabat terbaikku ialah Yesus dan Maria.
~Lebih baik mati daripada berbuat dosa. 

Janji keempat akan menjadi moto Dominikus sepanjang hidupnya. Beberapa kali ia memohon pada Tuhan untuk mengijinkannya meninggal sebelum ia sempat menyakiti Tuhan dengan melakukan dosa berat.

CINTA AKAN LAKU SILIH
Dengan semangat jiwanya, Dominikus memutuskan untuk makan hanya roti dan minum hanya air tawar setiap hari Sabtu demi menghormati Bunda Maria. Tetapi, Don Bosco melarangnya. Kemudian ia berkeinginan untuk berpuasa selama Masa Advent. Baru seminggu ia melakukannya, Don Bosco akhirnya mengetahui apa yang sedang dilakukannya dan menyuruhnya berhenti berpuasa. Ia mohon, setidak-tidaknya ia diijinkan untuk tidak sarapan, tetapi itu pun tidak diperbolehkan. Semua laku silih badani itu akan berakibat buruk bagi kesehatannya yang kurang baik.

Karena berpuasa dan berpantang dilarang, Dominikus mencari cara lain untuk melakukan silih. Ia meletakkan batu-batu serta ranting-ranting di tempat tidurnya sehingga ia tidak dapat tidur dengan nyaman. Ia juga ingin mengenakan baju kasar. Tetapi, itu pun dilarang. Dominikus mencari akal lain. Selama musim dingin ia tetap mengenakan selimut musim panas yang tipis. Suatu hari, Dominikus sakit dan harus tinggal di tempat tidur. Don Bosco datang menjenguknya. Dilihatnya bahwa Dominikus hanya mengenakan selimut tipis.

“Apa maksudnya ini? Kamu ingin mati kedinginan?”

“Tidak, Romo. Saya tidak akan mati kedinginan. Yesus di palungan dan di atas salib mengenakan kurang dari yang saya kenakan sekarang ini.”

Meskipun begitu, Dominikus dilarang keras melakukan laku silih badani apa pun tanpa ijin Don Bosco. Perintah ini ditaatinya, walau dengan hati sedih.

“Saya sungguh tidak tahu harus bagaimana. Tuhan bersabda bahwa tanpa silih, kita tidak dapat sampai ke Surga dan sekarang saya dilarang melakukan silih apapun; alangkah kecilnya kesempatan saya untuk masuk Surga!”

“Silih yang diminta Tuhan darimu ialah ketaatan,” jawab Don Bosco

“Tidakkah saya diperbolehkan melakukan silih yang lain juga?” pintanya

“Ya, menerima dengan sabar segala penghinaan serta menanggung dengan tabah segala cuaca: panas, dingin, hujan dan angin; jika kamu lelah janganlah bersikap buruk; jika kamu sakit, tetaplah bersyukur kepada Tuhan.”

“Tetapi, hal-hal demikian sudah termasuk dalam laku silih yang pokok.”

“Jika demikian, kerjakanlah segala sesuatu dengan penuh sukacita, bersedialah menanggung segala sesuatu demi cintamu kepada Tuhan, maka pastilah kamu beroleh belas kasih daripada-Nya.”

Dominikus merasa puas dengan jawaban itu dan ia pergi dengan gembira.
 
"Saya tidak mampu melakukan hal-hal besar, tetapi saya mau melakukan segala sesuatu, bahkan hal-hal remeh sekali pun, demi kemuliaan Tuhan.”
~ St. Dominikus Savio
 
 

Sabtu, 06 Februari 2010

St. Karolus Borromeus

“Kita perlu berdoa sebelum, selama dan sesudah melakukan segala sesuatu. Nabi mengatakan: `Aku akan berdoa, dan kemudian aku akan mengerti.'  Inilah cara agar kita dapat dengan mudah mengatasi begitu banyak kesulitan yang harus kita hadapi dari hari ke hari, yang memang, adalah bagian dari hidup kita. Dengan doa kita menemukan kekuatan untuk menghadirkan Kristus dalam diri kita dan sesama.”

Karolus hidup pada abad keenambelas. Ia adalah putera seorang bangsawan Italia yang kaya. Sama seperti para pemuda kaya lainnya, ia bersekolah di Universitas Pavia. Tetapi, tidak seperti kebanyakan dari mereka, ia tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang mengundang dosa. Karolus terkesan sebagai murid yang lamban karena ia tidak dapat berbicara dengan lancar, tetapi sungguh ia memperoleh kemajuan yang menggembirakan.
Usianya baru dua puluh tiga tahun ketika pamannya, Paus Pius IV, menyerahkan banyak tugas penting kepadanya. Karolus berhasil menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik. Namun demikian, ia senantiasa cemas kalau-kalau ia semakin jauh dari Tuhan karena banyaknya godaan di sekelilingnya. Oleh sebab itulah, ia berlatih menyangkal diri terhadap segala kesenangan dan senantiasa berusaha untuk rendah hati serta sabar. Sebagai seorang imam, dan kemudian Uskup Agung Milan, St. Karolus menjadi teladan bagi umatnya. Ia menyumbangkan sejumlah besar uang kepada kaum miskin. Ia sendiri hanya memiliki sehelai jubah lusuh berwarna hitam. Tetapi, di hadapan umum, ia berpakaian seperti layaknya seorang kardinal. Ia ambil bagian dalam upacara-upacara Gereja dengan penuh hormat dan wibawa.

Penduduk kota Milan mempunyai banyak kebiasaan buruk, mereka juga percaya takhayul. Dengan peraturan-peraturan yang bijakasana, dengan kelemahlembutan dan kasih sayang, serta dengan teladan hidupnya sendiri yang mengagumkan, St. Karolus menjadikan keuskupannya teladan bagi pembaharuan gereja seluruhnya. Ia tidak pernah dapat berbicara dengan lancar - umat hampir-hampir tidak dapat mendengarkannya - namun demikian kata-kata yang diucapkannya menghasilkan perubahan.

Ketika suatu wabah ganas menyerang dan mengakibatkan banyak kematian di Milan, Kardinal Borromeus tidak memikirkan hal lain kecuali merawat umatnya. Ia berdoa dan bermatiraga. Ia membentuk kelompok-kelompok umat yang membantunya membagikan makanan bagi mereka yang kelaparan. Ia bahkan mendirikan altar di jalan-jalan agar orang-orang yang sakit itu dapat ikut ambil bagian dalam Perayaan Ekaristi lewat jendela rumah mereka. Orang besar ini tidak pernah terlalu sibuk untuk menolong rakyat sederhana. Suatu ketika ia menghabiskan waktunya untuk menemani seorang bocah penggembala hingga bocah tersebut dapat berdoa Bapa Kami dan Salam Maria. Menjelang ajalnya, pada usia empatpuluh enam tahun, St. Karolus dengan tenang dan damai berkata, “Lihat, aku datang!” St. Karolus Borromeus wafat pada tanggal 3 November 1584 dan dinyatakan kudus oleh Paus Paulus V pada tahun 1610.
 

St. Agnes Mempelai Anak Domba



"Kristus mempercantik jiwaku dengan perhiasan rahmat dan kebajikan.
Aku ini milik Dia, yang dilayani oleh para malaikat." ~ St. Agnes



St. Agnes hidup pada masa Gereja Perdana, yaitu masa ketika orang-orang Kristen mengalami penindasan serta penganiayaan yang kejam dalam pemerintahan bangsa Romawi. Ia wafat sebagai martir sekitar tahun 304 - 305 dalam pemerintahan Kaisar Diocletian. Usia Agnes pada waktu itu baru 13 tahun. Meskipun tidak banyak catatan sejarah yang ada mengenai St. Agnes, ia amat populer. Hal ini terutama karena St. Ambrosius serta para kudus Gereja lainnya banyak menulis tentangnya.


`Agnes' dalam bahasa Latin berarti `anak domba' atau `kurban', sementara dalam bahasa Yunani berarti `murni, suci'. Agnes seorang gadis remaja yang cantik jelita dan berasal dari keluarga kaya. Banyak pemuda bangsawan Romawi terpikat padanya; mereka saling bersaing agar dapat memperisteri Agnes. Tetapi Agnes menolak mereka semua dengan halus dan mengatakan bahwa ia telah mengikatkan diri pada seorang Kekasih yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Procop, putera Gubernur Romawi, termasuk salah seorang di antara para pemuda yang amat marah dan merasa terhina oleh penolakan Agnes. Mereka melaporkan Agnes kepada Gubernur dengan tuduhan pengikut Kristus.


Pada mulanya Gubernur bersikap ramah serta lembut kepadanya. Ia menjanjikan harta serta kedudukan jika saja Agnes mau menyangkal imannya dan menikah dengan Procop. Agnes menolak, berkali-kali diulanginya pernyataannya bahwa ia tidak dapat memiliki mempelai lain selain dari Yesus Kristus. Karena pernyataannya itu, Agnes diseret ke depan mezbah berhala dan diperintahkan untuk menyembahnya. Bukannya menyembah berhala, Agnes malahan mengulurkan tangannya dan membuat Tanda Salib, tanda kemenangan Kristus. Gubernur kemudian memperlihatkan kepadanya api penyiksaan, kait besi, serta segala macam alat penyiksa lainnya, tetapi gadis muda itu tetap tabah dan tidak gentar sedikit pun.


Karena Agnes tetap keras kepala, Gubernur mengancam akan mengirim Agnes ke rumah pelacuran. Tetapi Agnes menjawab, “Yesus Kristus amat pencemburu, Ia tidak akan membiarkan kemurnian para mempelainya dicemarkan seperti itu. Ia akan melindungi dan menyelamatkan mereka.” Katanya lagi, “Kalian dapat menodai pedang kalian dengan darahku, tetapi kalian tidak akan pernah dapat menodai kesucian tubuhku yang telah kupersembahkan kepada Kristus.” Gubernur amat marah mendengar perkataannya itu. Ia memerintahkan agar Agnes, saat itu juga, dikirim ke rumah pelacuran dengan perintah bahwa semua orang berhak menganiayanya sesuka hati mereka.


Orang banyak datang untuk menyaksikan peristiwa itu. Tetapi, ketika melihat pancaran sinar wajah Agnes yang kudus dan agung serta sikapnya yang tenang, penuh kepercayaan kepada Kristus yang melindunginya, orang banyak itu takut dan tidak berani mendekat. Seorang pemuda tampil dan berusaha mengganggu Agnes. Pada saat itu juga, dengan kilat yang dari surga, pemuda itu tiba-tiba menjadi buta dan jatuh ke tanah dengan tubuh gemetar. Teman-temannya dengan ketakutan membopongnya serta membawanya kepada Agnes yang kemudian menyanyikan lagu puji-pujian kepada Kritus, sehingga pemuda itu dapat melihat serta sehat kembali.


Gubernur amat murka dan menjatuhkan hukuman mati pada Agnes. Algojo mendapat perintah rahasia untuk dengan segala cara membujuk Agnes, tetapi Agnes menjawab bahwa ia tidak akan pernah menyakiti hati Mempelai Surgawi-nya. Orang banyak menangis menyaksikan seorang dara yang lembut dan jelita dengan belenggu dan rantai yang terlalu besar bagi ukuran tubuhnya yang kecil, digiring ke tempat hukuman mati. Ia terlalu muda untuk memahami arti kematian, namun demikian ia siap menghadapinya tanpa gentar sedikit pun. Sesungguhnya, Agnes diliputi sukacita yang besar karena ia akan segera diperkenankan menyongsong mempelainya. Sama sekali tidak dihiraukannya ratap tangis mereka yang memohonnya untuk menyelamatkan nyawanya. “Aku tidak akan mengkhianati Mempelai-ku dengan menuruti keinginan kalian,” katanya, “Ia telah memilihku dan aku adalah milik-Nya.” Kemudian Agnes berdoa, membungkukkan badannya untuk menyembah Tuhan, dan segera menerima hujaman pedang yang menghantarkan jiwanya yang suci kepada kekasihnya. Agnes telah mempertahankan kemurniannya dan memperoleh mahkota martir di surga.


Jenasah Agnes disemayamkan di pemakamam keluarga di Via Nomentana dekat kota Roma. Kurang lebih lima puluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 354, Kaisar Konstantin Agung mendirikan sebuah gereja besar di tempat itu. Tubuh Agnes disemayamkan di bawah altar Gereja. Pada abad ketujuh, gereja itu kemudian dipugar, diperbesar serta diperindah dan sekarang dikenal sebagai Basilik St. Agnes.


Selama berabad-abad, setiap tahun sekali, yaitu pada pesta St. Agnes, dua anak domba tak bercela dipersembahkan dan diberkati di Basilik St Agnes. Kemudian kedua anak domba itu dipelihara oleh para biarawati Benediktin dari Santa Cecilia di Trastevere hingga hari Kamis Putih, yaitu pada saat mereka digunting bulunya. Dari bulu mereka dibuatlah 12 pallium yaitu semacam stola istimewa yang dikirimkan kepada Bapa Suci. Bapa Suci memberikan pallium tersebut kepada para Uskup Agung yang mengenakannya sebagai lambang anak domba yang digendong oleh Gembala Yang Baik.
Pesta St. Agnes dirayakan oleh Gereja Katolik di seluruh dunia setiap tanggal 21 Januari.


Disalin dari : www.indocell.net/yesaya

St. Lusia


“Bertautlah kepada-Nya, kepada Dia yang engkau cari, berpalinglah kepada-Nya dan temukanlah kebenaran; berpegangteguhlah kepada-Nya, mohon kepada-Nya untuk tidak bergegas pergi, mohon kepada-Nya untuk tidak meninggalkanmu.” St. Ambrosius


Santa yang dikagumi ini hidup di Syracuse, Sisilia. Ia dilahirkan pada akhir abad ketiga. Orangtuanya adalah bangsawan yang kaya raya serta terhormat. Ayahnya meninggal ketika Lusia masih kecil. Lusia secara diam-diam berjanji kepada Yesus bahwa ia tidak akan pernah menikah agar ia dapat menjadi milik-Nya saja. Lusia seorang gadis yang jelita dengan sepasang mata yang indah. Para pemuda bangsawan jatuh hati kepadanya. Ibunya mendesaknya untuk menikah dengan salah seorang dari mereka yang telah dipilihnya bagi Lusia. Tetapi Lusia tidak tertarik. Ia kemudian memikirkan suatu rencana untuk melunakkan hati ibunya. Ia tahu bahwa ibunya menderita sakit pendarahan. Lusia membujuknya untuk pergi ke gereja St. Agatha dan berdoa mohon kesembuhan. Lusia pergi menemaninya dan mereka berdoa bersama. Ketika Tuhan mendengar doa mereka serta menyembuhkan ibunya, Lusia mengatakan kepada ibunya tentang ikrarnya untuk menjadi pengantin Kristus. Sebagai ungkapan rasa terima kasih atas kesembuhannya, ibunya mengijinkan Lusia memenuhi panggilan hidupnya. Tetapi pemuda kepada siapa ibunya telah menjanjikan Lusia, amat marah karena kehilangan Lusia. Dalam puncak kemarahannya, ia melaporkan Lusia sebagai seorang pengikut Kristus. Ia mengancam hendak membutakan kedua mata Lusia. Tetapi, Lusia bahkan rela kehilangan kedua matanya daripada tidak menjadi pengantin Kristus. Dan itulah yang terjadi. Banyak patung yang kelak dibuat menggambarkan St. Lusia dengan matanya yang indah di telapak tangannya. Yesus membalas cinta Lusia yang gagah berani. Ia melakukan mukjizat dengan memulihkan mata Lusia kembali, bahkan jauh lebih indah dari sebelumnya.

Hakim yang kafir berusaha mengirim Lusia ke rumah wanita pendosa. Ia berharap agar Lusia dapat dibujuk untuk mengingkari Kristus. Tetapi ketika mereka berusaha membawanya ke sana, Tuhan menjadikan tubuh Lusia demikian berat sehingga mereka tidak dapat mengangkatnya. Pada akhirnya, Lusia ditikam dan menjadi martir bagi Yesus pada tahun 304.

Disalin dari : www.indocell.net

S. Brigita dari Irlandia


Orang kudus kita ini begitu rindu mempersembahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Adakah suatu ruang dalam hidupmu yang engkau sembunyikan dari Tuhan? Bagaimanakah jika engkau mempersembahkannya kepada Tuhan?


Hanya beberapa tahun sesudah kedatangan St Patrick di Irlandia, seorang bayi mungil dilahirkan dan dinamai Brigita. Ayahnya seorang bangsawan Irlandia bernama Dubthac dan ibunya bernama Brocca. Semakin kanak-kanak ini bertambah besar, semakin besar pula kasihnya kepada Yesus. Ia mencari Yesus dalam diri orang-orang miskin dan seringkali membawakan makanan dan pakaian bagi mereka. Konon suatu hari ia membagi-bagikan segentong penuh susu. Lalu, ia mulai cemas akan apa yang akan dikatakan ibunya. Ia berdoa kepada Tuhan untuk mengganti apa yang telah dibagi-bagikannya. Ketika tiba di rumah, gentong telah penuh kembali dengan susu!
Brigita seorang gadis yang cantik jelita. Ayahnya beranggapan bahwa sudah tiba waktunya bagi Brigita untuk menikah. Akan tetapi, Brigita telah berbulat hati untuk mempersembahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Ia tak hendak menikah dengan siapapun. Ketika mengetahui bahwa para pemuda tertarik kepadanya sebab kecantikannya, ia memanjatkan suatu permohonan yang aneh kepada Tuhan. Ia mohon agar kecantikan wajahnya diambil darinya. Tuhan mengabulkan permohonannya. Melihat bahwa puterinya tak lagi cantik, dengan rela hati ayahnya menyetujui ketika Brigita minta diijinkan menjadi seorang biarawati.

Sang gadis mengikuti panggilan hidup religiusnya. Ia bahkan memulai suatu biara agar para gadis yang lain dapat menjadi biarawati juga. Setelah ia mengkonsekrasikan hidupnya kepada Tuhan dalam biara, suatu mukjizat terjadi. Brigita menjadi cantik kembali! Ia mengingatkan orang akan Santa Perawan sebab ia begitu lemah lembut dan baik hati. Sebagian orang menyebutnya “Maria dari Irlandia”. St Brigita wafat pada tahun 525.

Disalin dari : www.indocell.net/yesaya

B. Imelda Lambertini

“Dapatkah seorang menyambut Yesus masuk ke dalam hatinya dan tidak mati?”


Imelda Lambertini dilahirkan di Bologna, Italia pada tahun 1322, sebagai puteri pasangan Pangeran Egano Lambertini dan Castora Galuzzi. Sanak keluarganya terkenal religius, di antara mereka terdapat seorang pengkhotbah Dominikan, seorang moeder pendiri Fransiskan, dan seorang bibi yang mendirikan sebuah biara dengan peraturan yang ketat di Bologna.

Imelda adalah seorang gadis kecil yang lemah lembut, dikasihi dan disayangi seluruh keluarga. Karena lingkungan keluarganya yang religius, tak mengherankan bahwa ia tumbuh menjadi seorang gadis yang saleh. Imelda kecil suka sekali berdoa; kerap kali diam-diam ia menghilang ke suatu sudut rumah yang tenang, yang dihiasinya dengan bunga-bungaan dan gambar-gambar kudus menjadi sebuah pojok doa kecil baginya. Ia belajar membaca Mazmur dan sejak muda benar setia ikut ambil bagian dalam Misa dan Ibadat Sore di gereja Dominikan. Ibunya mengajarinya menjahit dan memasak bagi orang-orang miskin, juga mengajaknya ikut serta membantu dalam kegiatan amal kasih.

Ketika Imelda berusia sembilan tahun, ia minta agar diperkenankan masuk Biara Dominikan di Valdi-Pietra di Bologna. Ia adalah anak satu-satunya dari pasangan yang sudah cukup lanjut usianya untuk berharap dapat memperoleh anak lagi; sungguh pilu membiarkannya pergi. Meski demikian mereka mengantarkannya juga ke biara dan mempersembahkannya kepada Tuhan dengan sukarela, walau hati remuk-redam.

Status Imelda dalam biara tidak cukup jelas. Ia mengenakan jubah, ikut ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan biara sepanjang diijinkan. Ia belajar Offisi dari mendengarkan madah-madah yang dilantunkan para biarawati dan merenungkannya sedapat yang ia mampu. Disposisi batin biarawati kecil ini segera saja membuatnya disayangi, sementara semangat berkobar-kobar yang menghantarnya masuk ke dalam biara sungguh membawa dampak positif bagi para biarawati lainnya. Devosi istimewa Imelda adalah kehadiran Ekaristis Tuhan kita dalam perayaan Misa Kudus dan dalam tabernakel. Menyambut Tuhan kita dalam Komuni Kudus adalah kerinduan hatinya yang terdalam; sayang, pada masa itu, untuk menyambut Komuni Pertama seorang anak harus berusia sekurang-kurangnya duabelas tahun. Sekali waktu, apabila tak tahan menahan kerinduan hatinya, Imelda akan berseru, “Katakanlah padaku, dapatkah seorang menyambut Yesus masuk ke dalam hatinya dan tidak mati?”

Sungguh, suatu hidup yang sepi bagi seorang gadis kecil berusia sembilan tahun, dan seperti kebanyakan anak lainnya yang kesepian, ia membayangkan teman bermain bagi dirinya - tetapi dengan satu perbedaan ini - teman-teman bermainnya adalah para kudus! Ia teristimewa sangat sayang kepada St Agnes, martir, yang berusia sedikit lebih tua dari dirinya. Seringkali ia membaca tentang St Agnes dari buku-buku besar bergambar di perpustakaan, dan suatu hari, St Agnes datang menampakkan diri kepadanya! Imelda sungguh bersukacita. Ia tidak dilibatkan dalam devosi-devosi orang dewasa, tetapi kini ia mempunyai sahabat sebaya yang dapat memberitahukan kepadanya segala hal yang paling ingin diketahuinya. Sesudah kunjungan ini, St Agnes kerap datang menemuinya, dan mereka berdua bercakap akrab mengenai hal-hal surgawi.

Natal pertamanya di biara hanya membawa kepedihan dalam hati Imelda. Ia memendam harapan bahwa para biarawati akan berbelaskasihan dan mengijinkannya menyambut Komuni Suci. Namun, pada hari agung itu, ketika semua orang maju menyambut Yesus dalam Ekaristi Kudus, Imelda harus tinggal di tempatnya, memandang dengan berlinang airmata kepada Bayi Kudus dalam palungan. Imelda mulai berdoa bahkan dengan lebih khusuk lagi agar ia diperkenankan menyambut Komuni Suci.

12 Mei 1333. Musim semi telah tiba di Bologna, dan dunia sedang bersiap merayakan Hari Raya Kenaikan Tuhan. Para biarawati sibuk mempersiapkan keperluan Misa; tak seorang pun dari antara mereka menaruh perhatian khusus pada gadis kecil yang tengah berlutut larut dalam doa. Walau ia telah memohon agar diperkenankan tinggal di kapel pada malam hari raya, permohonannya tak diindahkan; dan ia pun taat. Mereka tidak tahu betapa gigih ia mengetuk pintu gerbang surga, sembari mengulang-ulang bagi dirinya sendiri demi menguatkan keyakinannya, ayat ini, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.”

Maka, pintu sungguh dibuka bagi Imelda pada pagi Hari Raya Kenaikan Tuhan. Ia telah memohon sekali lagi dengan sangat agar diberikan kepadanya hak istimewa untuk menyambut Komuni Suci, dan karena ia bersikeras, terpaksalah imam dipanggil. Imam menolak mentah-mentah; Imelda harus menunggu hingga cukup usianya. Imelda pergi ke tempatnya di kapel, dan dengan diam membisu memandang sementara para biarawati pergi menyambut Komuni.

Seusai Misa, hanya Imelda seorang yang tetap tinggal di tempatnya di bagian paduan suara. Suster yang bertugas di sakristi memadamkan lilin-lilin dan membenahi pakaian-pakaian Misa. Sekonyong-konyong suatu suara membuatnya membalikkan badan dan melongok ke bagian paduan suara; terlihatlah olehnya seberkas cahaya yang bersinar cemerlang di atas kepala Imelda dan sebuah Hosti melayang-layang dalam cahaya itu. Suster bergegas memanggil imam yang segera datang dengan patena di tangan guna menerima-Nya.

Imam tak punya pilihan lain; Tuhan Sendiri telah menyatakan bahwa Ia menghendaki untuk bersatu dengan Imelda. Maka, dengan penuh hormat imam mengambil Hosti dan memberikannya kepada gadis kecil yang sedang mengalami ekstasi itu, yang berlutut bagaikan sebuah patung yang bercahaya, tak sadar akan kehadiran para biarawati yang datang berkerumun di kapel, ataupun orang-orang awam yang berdesakan di balik terali-terali kapel untuk melihat apa yang terjadi.

Selang beberapa waktu setelah mengucap syukur, priorin datang memanggil gadis kecil itu untuk sarapan. Didapatinya Imelda masih berlutut; suatu senyum bahagia tersungging di bibirnya, tetapi ia telah wafat, dalam luapan kasih dan sukacita.

Sepanjang hidupnya Imelda begitu rindu menyambut Yesus dalam Komuni Kudus; dan sungguh, Tuhan tidak pernah mengecewakan. Tuhan telah merancang suatu rencana yang indah, yang tak terbayangkan oleh siapa pun, bagi mempelai kecil-Nya - membawa Imelda bersama-Nya ke dalam Kerajaan-Nya, sehingga mereka tidak akan pernah berpisah lagi untuk selamanya!

Imelda Lambertini dinyatakan sebagai beata pada tahun 1826 dan dimaklumkan sebagai pelindung para penerima Komuni Pertama oleh St Paus Pius X. Jenazah Imelda yang tak rusak hingga sekarang disemayamkan di Gereja St Sigismund di Bologna. Pesta B. Imelda Lambertini dirayakan pada tanggal 13 Mei.




Disalin dari :
www.indocell.net/yesaya